Lin, Jan dan Christopher Mele (Ed.). 2005. The Urban Sociology Reader. New York: Routledge.
Halaman 336—343.

Pengantar
Konsepsi mengenai gerakan sosial perkotaan erat kaitannya dengan adanya tindakan kolektif yang dilakukan sejumlah masyarakat perkotaan untuk kemajuan kota tersebut. Adapun tindakan kolektif tersebut meliputi adanya globalisasi dalam bidang politik dan kebudayaan masyarakat. Tindakan kolektif tersebut diharapkan mampu untuk mengidentifikasi dan memahami minat masyarakat terhadap kemajuan suatu kota. Itulah sebabnya, konsepsi gerakan sosial perkotaan membutuhkan teori global sehingga dapat menjelaskan kehidupan masyarakat lokal. Pada akhirnya, dampak globalisasi yang timbul dapat dianalisis secara mendalam melalui pendekatan gerakan sosial perkotaan ini.

Apabila ditinjau dari perspektif gerakan sosial perkotaan, perdebatan mengenai globalisasi banyak dipengaruhi oleh pemikiran tentang dominasi, eksploitasi, dan kekuasaan. Dampak globalisasi ekonomi secara lokal atau pada suatu wilayah tertentu telah memengaruhi tindakan kolektivitas masyarakat yang bersangkutan. Berikut ini merupakan pendapat dari beberapa tokoh mengenai dampak adanya globalitas lokal perkotaan.

Anthony King (1990) dan Immanuel Wallerstein (1984)
Menurut Anthony King, kesadaran global yang muncul masih bersifat sementara. Perubahan yang terjadi di masyarakat sudah dipantau oleh gerakan akar rumput yang menguasai wilayah tersebut. Sementara itu, menurut Immanuel Wallestein, kunci dari perubahan masyarakat adalah adanya gerakan sosial yang muncul di suatu wilayah.

Scott Lasli, John Urry (1994), dan Ulf Hannerz (1990)
Menurut Lasli dan Urry, dampak dari adanya globalisasi tidak hanya dirasakan oleh individu-individu saja, melainkan memengaruhi gaya hidup, tempat tinggal, serta hubungan antaretnis. Hal tersebut diperkuat oleh Ulf Hannerz (1990). Menurut Hannerz, selain ketiga dampak tersebut, diperlukan pemahaman mengenai kelas sosial, tempat dan ruang sebagai dasar untuk mengkaji globalisme dalam ranah kebudayaan urban.

Saskia Sassen (1998)
Menurut Saskia Sassen, perkotaan menjadi tempat pertempuran pasca-kolonial. Perkotaan menjadi sarana untuk melakukan konflik dan pertempuran yang digunakan untuk mencaplok wilayah lain di kota-kota besar negara maju. Dengan kata lain, ada kemungkinan suatu wilayah mengklaim dirinya sebagai bagian dari kota tersebut.

Berdasarkan pemikiran tokoh-tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial perkotaan setidaknya memiliki tiga macam perjuangan yang menggambarkan adanya globalisme di suatu perkotaan. Pertama, masyarakat yang tinggal di inti kota akan berjuang menuju puncak hierarki perkotaan secara global. Kedua, adanya kerja sama revitalisasi dan program pembangunan suatu wilayah perkotaan dalam bidang ekonomi. Ketiga, menunjukkan adanya pengikisan kesejahteraan masyarakat lokal.

Keragaman perjuangan yang sudah disebutkan di atas menjadi ciri khas dari adanya gerakan perkotaan. Perjuangan tersebut dilakukan untuk menghadapi dominasi kaum elite politik lokal di suatu wilayah perkotaan. Selain itu, gerakan perkotaan berusaha mendukung proses demokratisasi kehidupan masyarakat sipil agar tercapai standar kehidupan yang layak bagi seluruh warga negara. Singkatnya, gerakan perkotaan terus terjadi pada kemungkinan membangun kompromi dan elaborasi dengan agen sosial lain untuk terciptanya perubahan sosial.