Biografi Intelektual
Talcott Parsons lahir di Colorado, Amerika Serikat, pada tanggal 13 Desember 1902 dan wafat di Munich, Jerman, pada tanggal 8 Mei 1979. Parsons dilahirkan dari keluarga yang religius dan memiliki tingkat intelektual yang tinggi. Ayahnya adalah seorang profesor dan juga seorang pendeta gereja Protestan. Parsons memperoleh gelar sarjananya di Amherst College pada tahun 1924. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan pascasarjana di London School of Economics, lalu ia pindah ke Heidelberg, Jerman. Selama menempuh pendidikan di sana, rupanya pemikiran Parsons begitu banyak dipengaruhi oleh Max Weber. Hal tersebut ditandai dengan tulisan disertasi doktoral yang ia susun membahas tentang karya-karya Weber.

Karier Parsons sepanjang hidupnya ia dedikasikan untuk perkembangan pemikiran Sosiologi di Amerika Serikat. Ia pun memulai kariernya sebagai pengajar di Harvard College sejak tahun 1924. Pada tahun 1937, Parsons menulis sebuah buku yang berjudul The Structure of Social Action. Setelah itu, karier Parsons mulai melesat. Di tahun 1944, Parsons dipercaya untuk menjabat sebagai kepala jurusan Sosiologi di Harvard University. Dua tahun kemudian, ia menjadi kepala jurusan Hubungan Sosial di tempat yang sama. Pada tahun 1949, Parsons kemudian menjabat sebagai presiden asosiasi Sosiologi Amerika. Tak berhenti sampai di situ saja. Pada tahun 1951, Parsons menulis kembali sebuah buku yang berjudul The Social System. Akhirnya, Talcott Parsons pun menjadi tokoh dominan dalam bidang Sosiologi di Amerika Serikat.

Akan tetapi, perjalanan karier Parsons tidak semulus apa yang dibayangkan. Pada dekade 1960-an, mulai bermunculan kritik terhadap pemikiran-pemikiran Parsons yang dianggap tidak sesuai dengan realitas masyarakat pada saat itu. Teori fungsional Parsons pun mulai dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Namun, di satu sisi, pemikiran-pemikiran Parsons pun mulai menarik minat sejumlah kalangan akademisi di dunia sejak dekade 1980-an. Adapun salah satunya adalah Robert K. Merton yang juga adalah mahasiswa Parsons saat berkuliah di Harvard University. Dengan demikian, pemikiran Parsons di bidang Sosiologi akan terus dipelajari dan ditelaah bersama hingga saat ini.

Garis Besar Pemikiran Talcott Parsons
Parsons dikenal sebagai tokoh yang mencetuskan pemikiran tentang struktural fungsional. Berbicara soal struktural fungsional, Parsons sudah menyajikan peta pemikirannya tentang struktural fungsional. Bagaimana proses terjadinya struktural fungsional di masyarakat akan dijelaskan secara sistematis sebagai berikut.

1. Konsep Aksi Voluntaristik
Dalam menyusun sebuah teori, langkah pertama yang dilakukan Parsons adalah dengan melihat masyarakat dari segi ontologisnya. Apakah individu senantiasa ingin diatur? Apakah individu sepenuhnya benar-benar bebas? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang muncul sebelum Parsons mengemukakan teori struktural fungsional. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Parsons menggunakan teori aksi voluntaristik sebagai pengantar dari teori struktural fungsional itu sendiri. Parsons mengartikan voluntarisme sebagai suatu proses individu dalam membuat keputusan subjektif dari individu tersebut sebelum melakukan suatu tindakan atau aksi. Voluntarisme sendiri mengandung beberapa unsur yang juga disebut sebagai unit aksi. Unsur-unsur voluntarisme meliputi: (1) pelaku sebagai pribadi individu; (2) pelaku mencari cara untuk mencapai tujuan yang dikehendaki; (3) adanya kondisi situasional; (4) pelaku dikuasai oleh nilai, kaidah, dan ide yang memengaruhi penetapan tujuan; dan (5) aksi berupa pengambilan keputusan secara subjektif.

Berdasarkan konsep di atas, dapat dilihat bahwa setiap individu senantiasa ingin bebas. Hal ini dapat terlihat dari adanya tujuan yang akan dicapai individu yang bersangkutan. Akan tetapi, di sisi lain, ada juga faktor eksternal yang memengaruhi dalam pengambilan keputusan individu. Adapun faktor eksternal yang dimaksud adalah adanya nilai, kaidah, dan norma di masyarakat. Selain itu, kondisi situasional juga memengaruhi individu dalam pencapaian tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, dalam pengambilan keputusan dan pencapaian tujuan, individu selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang berasal dari luar individu. Hal inilah yang menjadi asumsi dasar dalam teori struktural fungsional Parsons.

2. Proses Institusionalisasi untuk Memelihara Sistem Aksi
Setelah mengembangkan konsep aksi voluntaristik, Parsons kemudian mengembangkan unit-unit aksi tersebut ke dalam suatu sistem aksi. Dalam membicarakan sistem aksi, Parsons kembali mempertanyakan bagaimana caranya untuk memelihara sistem aksi tersebut. Proses institusionalisasi atau proses pelembagaan menjadi jawaban Parsons atas pertanyaan tersebut.

Menurut Parsons, proses institusionalisasi mengacu pada pola-pola interaksi yang cenderung stabil antara pelaku dalam kedudukannya masing-masing. Adapun pola-pola tersebut disusun secara normatif dan dipengaruhi oleh nilai-nilai kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat setempat. Proses institusionalisasi di dalam masyarakat menurut Parsons dapat dilakukan melalui beberapa proses. Individu-individu yang memiliki orientasi/tujuan berbeda mulai memasuki kondisi situasional di masyarakat. Dalam mencapai tujuan tersebut, cara yang digunakan individu tersebut yaitu dengan melakukan interaksi. Melalui interaksi tersebut, akan menghasilkan kaidah-kaidah yang bertujuan untuk menyesuaikan orientasi individu yang bersangkutan. Selain sebagai bentuk penyesuaian orientasi, kaidah-kaidah tersebut juga berfungsi untuk membatasi pola-pola kebudayaan yang tidak sesuai dengan kaidah yang terdapat di masyarakat. Kaidah tersebut akan mengatur proses interaksi yang terjadi di dalam masyarakat tersebut, sehingga tercipta suatu keadaan yang stabil. Dengan demikian, apabila proses interaksi tersebut sudah melembaga, maka proses tersebut dapat dikatakan sebagai suatu sistem sosial.

3. Konsep Variabel Pola
Setelah membicarakan proses pelembagaan suatu interaksi sosial yang berkembang di masyarakat, Parsons memiliki sejumlah klasifikasi bagaimana cara individu tersebut berinteraksi satu sama lain, bagaimana cara individu tersebut mencapai tujuannya, dan sebagainya. Klasifikasi tersebut yang kemudian dikenal sebagai konsep variabel pola yang tersusun berdasarkan dikotomi-dikotomi yang ada. Parsons mendefinisikan variabel pola sebagai seperangkat dilema universal yang dihadapi masyarakat dan harus dipecahkan individu dalam setiap situasi sosial yang berkembang di masyarakat. Setidaknya Parsons mengklasifikasi terdapat lima bentuk dikotomi pola sebagai berikut: (1) dikotomi affectivity – affective neutrality yang mengacu pada dilema antara ada-tidaknya perasaan kasih sayang dalam suatu proses interaksi; (2) dikotomi specificity – diffuseness yang mengacu pada dilema antara adanya kekhususan atau kekaburan dalam suatu proses interaksi di masyarakat; (3) dikotomi universalism – particularism yang mengacu pada dilema antara ada-tidaknya ukuran universal dalam suatu proses interaksi; (4) dikotomi quality – performance yang mempertanyakan apakah faktor terpenting terletak pada faktor bawaan sejak lahir atau berdasarkan prestasi tertentu; dan (5) dikotomi self-orientation – collectivity-orientation yang menitikberatkan pada orientasi individu dalam suatu hubungan.

4. Mekanisme Sosialisasi dan Pengendalian Sosial Menurut Parsons
Sistem sosial yang sudah dijelaskan oleh Parsons rupanya masih menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana cara memelihara sistem sosial yang sudah dibangun sedemikian rupa di dalam masyarakat tersebut. Setidaknya, Parsons menemukan dua mekanisme yang dapat dipakai untuk memelihara sistem sosial tersebut, yaitu dengan menggunakan mekanisme sosialisasi dan pengendalian sosial. Menurut Parsons, mekanisme sosialisasi dapat diartikan sebagai sarana tempat pola-pola kebudayaan diinternalisasikan ke dalam sistem kepribadian individu. Sosialisasi juga memberikan keterampilan individu-individu untuk dapat memainkan peran sosialnya di masyarakat. Adapun fungsi sosialisasi menurut Parsons adalah sebagai bentuk stabilitas ikatan-ikatan sosial yang muncul di masyarakat sebagai akibat dari adanya berbagai tekanan yang muncul.

Sementara itu, mekanisme pengenalian sosial menurut Parsons mencakup cara-cara peranan sosial diorganisasikan ke dalam sistem sosial untuk mencegah terjadinya penyimpangan di masyarakat. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan penyimpangan di masyarakat, di antaranya dengan cara proses pelembagaan, penetapan sanksi, ataupun dengan cara melakukan aktivitas ritual yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat.

Kedua mekanisme tersebut menjadi salah satu cara untuk mencapai integrasi masyarakat yang ada. Namun, Parsons menyadari bahwa kedua mekanisme tersebut tidak selalu berhasil. Parsons menyadari bahwa pasti akan terjadi penyimpangan dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi, di satu sisi, Parsons berusaha menjelaskan analisis masyarakat ke dalam suatu bentuk integrasi dan adanya pemeliharaan keserasian di dalam sistem-sistem sosial.

5. Konsep AGIL dan Sistem Tindakan
Untuk membentuk suatu sistem sosial, diperlukan empat fungsi yang akan menjadi ciri khas dari suatu sistem sosial tersebut. Adapun keempat fungsi tersebut dikenal dengan skema AGIL, yaitu: adaptasi (adaptation), pencapaian tujuan (goal attainment), integrasi (integration), dan pemeliharaan pola/latensi (latency). Adaptasi dapat diartikan sebagai bentuk penyesuaian diri individu terhadap lingkungan sekitarnya. Adapun suatu sistem sosial harus memiliki tujuan yang hendak dicapai oleh setiap sistem. Integrasi berusaha mengatur dan menyeimbangkan hubungan antara ketiga fungsi sistem sosial tersebut (adaptasi, tujuan, dan latensi). Sementara yang dimaksud pemeliharaan pola adalah bagaimana sistem sosial yang sudah terbentuk itu dipelihara, dilengkapi, atau bahkan diperbaharui sesuai dengan perkembangan sistem sosial itu sendiri.

Apabila keempat fungsi itu diaplikasikan secara langsung di dalam masyarakat, maka dapat ditemukan keempat konsep yang menggambarkan masing-masing fungsi sistem sosial tersebut. Adapun konsep tersebut dikenal dengan sebutan sistem tindakan yang meliputi: (1) organisasi behavioral sebagai sistem tindakan yang menangani fungsi adaptasi dengan menyesuaikan atau mengubah dunia luar; (2) sistem kepribadian yang menjalankan fungsi pencapaian tujuan dengan menguraikan tujuan serta metode yang dipakai untuk mencapai tujuan yang dikehendaki; (3) sistem sosial yang menjalankan fungsi integrasi dengan mengontrol masing-masing fungsi yang ada dalam sistem sosial tersebut; dan (4) sistem kultural/kebudayaan yang menjalankan fungsi latensi dengan menyosialisasikan norma dan nilai yang memengaruhi individu dalam bertindak.

6. Perubahan Sosial Menurut Parsons
Membicarakan perubahan sosial, Parsons juga sedikit membahas mengenai perubahan sosial. Adapun konsep perubahan sosial menurut Parsons masih terdapat kaitan dengan keempat fungsi sistem sosial yang sudah dibahas sebelumnya. Dalam proses adaptasi terdapat pembagian kerja dan efisiensi di dalam sistem sosial itu sendiri. Sementara itu, untuk mencapai tujuan, timbul suatu diferensiasi struktural, yaitu suatu kondisi di mana terjadi persamaan struktur yang timbul di dalam masyarakat itu. Proses diferensiasi yang muncul di masyarakat dapat mengarah pada integrasi yang ditandai dengan adanya peningkatan keterlibatan masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul di masyarakat. Sampai pada akhirnya terjadi proses latensi yang ditandai dengan adanya generalisasi nilai dan norma di masyarakat.


SUMBER REFERENSI

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (terj.). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Soekanto, Soerjono. 2002. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.